Oleh: W.M. Maradianto, S.Pd (Dian Sukarno) *
Kegiatan outing class yang diselenggarakan oleh Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah 1 Jombang ke Sanggar Tari Lung Ayu pimpinan Dian Sukarno menjadi momentum pembelajaran yang menggugah kesadaran akan pentingnya pelestarian seni tradisional sebagai bagian dari pendidikan karakter.
Lebih dari sekadar rekreasi, kegiatan ini merupakan wujud konkret dari pertemuan antara nilai-nilai luhur kebudayaan dan cita-cita pendidikan nasional yang berlandaskan Pancasila.
Diikuti oleh 78 siswa-siswi kelas 1 dan didampingi lima guru, outing class ini dirancang untuk mengenalkan seni tari tradisional kepada anak-anak usia dasar sekaligus menumbuhkan kesadaran akan nilai moral, spiritual, dan sosial yang terkandung di dalamnya.
Rombongan berangkat dari MI Muhammadiyah 1 Jombang yang berlokasi di Jalan Juanda menuju Sanggar Tari Lung Ayu di kawasan Paseban Besut, Dusun Subentoro, Desa Sumbermulyo, Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang.
Empat mobil angkutan pedesaan digunakan sebagai sarana transportasi—simbol sederhana kebersamaan antara guru, siswa, dan masyarakat.
Perjalanan sekitar setengah jam itu menjadi pengalaman tersendiri bagi anak-anak, melewati hamparan sawah dan suasana pedesaan yang masih asri, seolah menjadi jembatan antara dunia pendidikan formal dan kehidupan kultural masyarakat lokal. Tepat pukul 07.45 WIB rombongan tiba di lokasi dan langsung disambut hangat oleh tim sanggar di bawah koordinasi Dian Sukarno.
Sanggar Tari Lung Ayu sendiri bukan ruang sederhana. Bangunan seluas 10×12 meter persegi itu berdiri kokoh di antara persawahan hijau, menciptakan kontras yang indah antara modernitas fasilitas dan keteduhan alam sekitar.
Lantai studio sudah berkeramik bersih, dinding-dindingnya dihiasi kaca besar yang memungkinkan para penari melihat refleksi gerak tubuh mereka secara langsung.
Cahaya alami masuk melalui jendela lebar, memberikan kesan lapang dan hidup. Meskipun terletak di lingkungan pedesaan, sanggar ini berstandar profesional—bukti nyata bahwa seni tradisional dapat berkembang secara modern tanpa kehilangan jati diri.
Anak-anak tampak kagum ketika pertama kali memasuki studio. Kesan pertama yang mereka tangkap bukan lagi ruang sempit atau panggung tradisional, tetapi tempat belajar yang megah dan inspiratif.
Kegiatan pun dimulai dengan pengenalan tari tradisional oleh Dian Sukarno, seorang seniman dan pendidik tari yang dikenal karena kiprahnya dalam melestarikan nilai-nilai budaya Jawa melalui pendekatan edukatif.
Dalam penjelasannya, Dian menekankan bahwa setiap gerak dalam tari bukan hanya persoalan estetika, melainkan juga sarat makna filosofis: bagaimana manusia menjaga keseimbangan antara gerak lahir dan batin, antara irama dan ketenangan, antara diri dan semesta.
Bagi anak-anak usia dasar, pengalaman ini menjadi awal dari pemahaman bahwa seni adalah bahasa nilai. Mereka diajak menirukan gerak sederhana dari tari tradisional, mulai dari posisi tangan, lenggok bahu, hingga langkah kaki yang selaras dengan irama gamelan latar.
Tidak ada tekanan atau penilaian yang membatasi. Guru dan pengajar sanggar memberi ruang bagi anak-anak untuk bereksperimen dan mengekspresikan diri. Setelah sesi pengenalan, kegiatan dilanjutkan dengan kreasi tari spontanitas anak-anak—sebuah kegiatan di mana para siswa diminta menciptakan gerakan bebas berdasarkan imajinasi mereka sendiri.
Dalam suasana penuh tawa, anak-anak mulai menari sesuai naluri mereka. Ada yang meniru gerak lebah, ada yang menari seperti angin berhembus di sawah, dan ada pula yang mencoba menggabungkan gerak tradisional dengan improvisasi modern.
Momen ini menjadi puncak dari pembelajaran yang bermakna, di mana anak-anak belajar mengekspresikan diri tanpa rasa takut salah. Secara pedagogis, kegiatan ini mengandung nilai pembelajaran experiential learning—belajar melalui pengalaman langsung—yang sangat efektif untuk menanamkan rasa percaya diri, kreativitas, dan kemampuan reflektif sejak dini.
Guru-guru pendamping yang ikut serta juga melihat dimensi lain dari kegiatan ini. Mereka menyadari bahwa seni bukan sekadar aktivitas tambahan, tetapi sarana penting untuk membentuk karakter dan kepekaan sosial.
Melalui gerak tari, anak-anak belajar disiplin, menghargai ruang dan waktu, memahami kerja sama kelompok, serta belajar mengatur diri. Nilai-nilai tersebut selaras dengan enam dimensi Profil Pelajar Pancasila: beriman dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, gotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.
Dalam satu kegiatan sederhana, keenam aspek itu tumbuh bersamaan tanpa perlu pemaksaan.
Dimensi spiritualitas muncul ketika anak-anak memahami bahwa tari tradisional Jawa sering kali diawali dengan penghormatan, yang mengandung nilai kesadaran diri di hadapan Tuhan dan sesama.
Dimensi gotong royong terlihat ketika mereka menari dalam kelompok dan belajar menyesuaikan ritme bersama teman.
Sementara dimensi bernalar kritis dan kreatif tumbuh melalui pertanyaan-pertanyaan spontan: mengapa gerak tangan harus ke atas? apa makna di balik irama tertentu? bagaimana jika gerak itu diubah menjadi seperti pohon tertiup angin? Pertanyaan semacam itu menandakan tumbuhnya kesadaran analitis dan eksploratif, ciri khas pembelajaran yang hidup.
Kegiatan ini juga menunjukkan wajah pendidikan Islam yang berkemajuan, sebagaimana semangat Muhammadiyah yang sejak awal berdiri memperjuangkan pendidikan sebagai sarana pencerahan umat.
Islam yang berkemajuan bukanlah Islam yang menolak tradisi, tetapi Islam yang memaknai tradisi sebagai wahana untuk membangun akhlak dan peradaban. Dalam konteks ini, outing class ke Sanggar Tari Lung Ayu merupakan manifestasi semboyan Muhammadiyah Berkemajuan: berpikir maju tanpa meninggalkan akar, modern tanpa kehilangan nilai, dan terbuka tanpa kehilangan arah spiritual.
Di tengah derasnya arus digitalisasi dan budaya populer, mengenalkan tari tradisional kepada anak-anak usia dini adalah tindakan strategis sekaligus moral. Anak-anak tidak hanya belajar menari, tetapi juga belajar menghormati kerja keras seniman, memahami pentingnya disiplin berlatih, dan menghargai warisan leluhur sebagai bagian dari jati diri bangsa.
Dalam era serba instan, pengalaman belajar semacam ini menanamkan kesadaran bahwa sesuatu yang indah membutuhkan proses, kesabaran, dan dedikasi.
Refleksi menarik muncul ketika beberapa anak menyampaikan keinginan mereka untuk mengajak orang tuanya berkunjung kembali ke sanggar.
Hal sederhana itu menunjukkan bahwa kegiatan ini tidak berhenti di ruang belajar, tetapi merembes ke dalam ruang keluarga dan masyarakat.
Dalam istilah pendidikan karakter, hal tersebut disebut transfer of learning—kemampuan peserta didik membawa nilai-nilai yang dipelajari ke dalam kehidupan nyata.
Ketika anak-anak mulai bercerita kepada orang tuanya tentang pengalaman menari di antara kaca besar yang memantulkan gerak mereka, tentang indahnya sawah di luar studio, dan tentang guru tari yang lembut tetapi tegas, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila tengah bekerja dalam bentuk paling konkret: cinta terhadap budaya, penghormatan pada kerja manusia, dan kebanggaan terhadap tanah air.

Bagi para guru MI Muhammadiyah 1 Jombang, kegiatan ini juga memperkaya perspektif tentang implementasi Merdeka Belajar. Bahwa belajar tidak hanya harus di ruang kelas, melainkan bisa di mana saja selama ada proses refleksi dan pertumbuhan nilai.
Outing class ini menjadi contoh bagaimana pendidikan berbasis budaya lokal mampu menumbuhkan kecerdasan spiritual, sosial, dan emosional anak-anak. Ia membuktikan bahwa seni tradisional bukan masa lalu yang mati, melainkan sumber energi pendidikan masa depan yang memanusiakan manusia.
Ketika jam menunjukkan pukul 11.00 WIB, kegiatan berakhir dengan sesi refleksi singkat. Anak-anak duduk melingkar, sebagian masih menirukan gerakan yang baru mereka pelajari. Dian Sukarno menutup kegiatan dengan pesan sederhana namun mendalam: “Menari bukan soal bisa atau tidak, tetapi soal berani menjadi diri sendiri yang indah di hadapan Tuhan.” Kalimat itu bergema lembut di ruang studio yang dikelilingi kaca—membiaskan wajah-wajah polos anak-anak yang tersenyum lebar, seolah menyimpan kebahagiaan yang baru mereka temukan: kebahagiaan menjadi bagian dari kebudayaan bangsanya sendiri.
Dari pengalaman ini, dapat disimpulkan bahwa outing class MI Muhammadiyah 1 Jombang ke Sanggar Tari Lung Ayu adalah bentuk praksis pendidikan holistik yang memadukan dimensi spiritualitas Islam, nilai-nilai Pancasila, dan kekayaan budaya Nusantara.
Ia menegaskan bahwa pendidikan yang baik bukan hanya mencerdaskan otak, tetapi juga menumbuhkan kehalusan rasa dan keteguhan moral.
Di balik cermin besar studio Lung Ayu, anak-anak tidak hanya melihat pantulan tubuh mereka, tetapi juga bayangan masa depan bangsa yang berkarakter, berbudaya, dan beriman.
Kegiatan ini menjadi pengingat bahwa kemajuan sejati bukan terletak pada seberapa modern fasilitas belajar kita, tetapi pada seberapa dalam kita mampu menanamkan nilai kemanusiaan dalam setiap proses belajar. Dan di antara sawah yang hijau, di bawah bimbingan guru dan seniman, anak-anak MI Muhammadiyah 1 Jombang telah membuktikan bahwa menari pun bisa menjadi jalan menuju kemajuan yang berakar—Islam yang mencerahkan, budaya yang memuliakan, dan Pancasila yang menghidupi.***






